"boleh main yang jauh, asal jangan lupa balik ke akar."
- Eva Mega
- Jun 19, 2023
- 3 min read
Hari-hari setelah pulang kerja kadang rasanya capek aja kadang capek banget ya Tuhan..
Sampai rumah aku ngeluh capek ke Ibu, dijawabnya malah, "kamu mah mending, jaman Mama dulu mah,,,". Hehe.
Nggak jarang aku meringkuk di kasur sambil cari kawan yang bisa diajak pergi, dengan harapan siapatau bisa ngeluh bareng-bareng. Tapi nggak jarang juga udah pada sibuk sama pasangannya atau kerjaannya masing-masing. Biasanya berakhir scrolling Tiktok sampai ketiduran. Besoknya? Ya gitu lagi. Lama-lama rasanya kayak sendirian, bingung harus sama siapa.
Waktu lagi sepi-sepinya, aku keinget omonganku ke mantanku. Waktu dia ulang tahun dulu, aku bilang, "Semoga di umur yang baru ini kamu bisa main yang jauh dan temenan sama siapa ajah! Tapiii, jangan lupa balik ke akar."
Habis inget itu aku jadi kepikiran temenku dua biji (namanya Agnes dan Grace) yang selaluuuu aja nanya kabar per (maksimal) 6 bulan sekali lewat grup WhatsApp, ketemunya hanya setahun sekali (itu juga udah dipaksain), tapi nggak pernah absen ikut rayain momen hidupku yang nggak seberapa ini. Akhirnya, setelah setahun nggak ketemu, minggu lalu kami kumpul lengkap bertiga. Rasanya masih sama kayak waktu SMA, belum ngomong udah ketawa, belum cerita udah pada tau.
It was a usual annual catch-up for me sampai Agnes komentar tentang cerita Grace dengan, "tapi Grace.. lu udah nggak sekeras dulu ya ternyata."
Nggak cuman Grace yang kena, aku juga. To one of my stories she responded, "Lu kemarin kenapa bisa-bisanya dah? Akhirnya gimana?"
Her response tickled me for a bit. They watched me from afar. Selama ini kerasanya susah sendiri, pengen cerita tapi bingung mentok harus ke siapa, padahal kuncinya gampang..tinggal balik aja ke akar.
Kalau mau dibahas, sebenernya nggak akan ada satu orang persis yang bener-bener peduli sama kamu. I've experienced having one friend that I see everyday, talk to everyday, yet still has the audacity to talk shit about me. When it all happened, I was on a complete denial phase. Uncountable self-blame and all but I passed it. lol.
Habis kejadian itu aku berani kasih pesen, itu temen kamu yang bilangnya bakal selalu ada atau "I'm here if you need anything. Aku nggak tega liat kamu kayak gini terus.", nggak usah dipegang erat-erat amat (orangnya dan omongannya). It will only destroy you. Kalau dia dikasih pilihan untuk bantuin kamu atau puter balik biar dia dapet untungnya, aku yakin pilihan kedua yang bakal diambil.
In this term of choosing friends, I suggest you to only trust action, not words. That is why I choose Grace and Agnes as my (hopefully, forever) comfortable blanket.
Kalau aku lagi ngeluh, "Kok aku sendirian banget ya rasanya?" bukan dijawab "Tenang, ada kita." tapi malah dijawab "Ya emang. Kuat dong! Inget, kalo jatoh bangun sendiri ye."
Kalau aku lagi nangis sembari misuh-misuh, "Sedih bener, emang gua kada pantes ye dapet apa-apa." bukan dijawab "Nggak kok, kamu cantik, baik, pinter." tapi dijawab "Siapa si yang bilang gitu? Itu otak mah otak lu doang. Nggak usah didenger."
Kalau lagi kebingungan sampe ngomong, "Salah gua dimana ya ini? Why do everyone leave?" dijawabnya cuma "Apaansiiii. I've told you hundred times, Bud. Lu nggak akan jadi apa-apa kalo ngukur diri sendiri dari orang laen. Kalo semua orang mikir begitu mah mati kali kita."
Doing life at your early 20s is actually SUCKS. Sering berasa punya kontrol penuh terhadap diri sendiri, tapi pas dijalanin ternyata masih butuh masukan orang. Sering berasa pengen "fuck it, I'm just gonna do it" tapi pas gagal bingung pengen ngeluh ke siapa. We, at this age, are truly on a survival mode. A trial and error mode, to be exact. But once you failed, kaburnya jangan jauh-jauh. I suggest you to go back to your roots, your comfortable blanket, your own Agnes and Grace to get back on track and I promise you life will be worth-living again with your kind of people by your side.
Comentários